Thursday, December 11, 2014

Derivasi Makro Ekonomi dengan Maqoshid Syari'ah

BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini Negara kita banyak sekali permasalahan perekonomian. Apa lagi yang berkenaan dengan makro ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut belum pernah terseleasaikan sedikitpu, bahkan semakin lama semakin bertambah masalahnya. Sistem yang digunakan Negara dalam mengatasi masalah tersebut masih belum efektif dan masih banyak kekurangannya. Kemiskinan semakin meningkat, pengangguran dimana-mana, sistem pemerataan yang belum merata, dan masalah kenaikan harga yang tidak diikuti oleh kemampuan daya beli masyarakat (inflasi).
Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Seharusnya dengan menggunakan sistem syari’ah akan dapat mengatasi permasalahn-permasalahan tersebut. Karena Islam didalamnya terdapat Syari’ah yang bertujuan untuk maslahah atau mencari kebaikan. Tujian tersebut dikenal sebagai maqoshid Syari’ah. Jika saja maqoshid syari’ah tersebut dapat di pakai dengan baik dan sebagai acuan perekonomian, maka masalah perekonomian dalam bidang makro ekonomi dapat diatasi walaupun tidak tuntas. Karena dihidup ini pasti aka ada selalu masalah, tinggal bagaimana caranya untuk mengatasi masalah tersebut.








BAB II
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas dapat kita ketahui rumusan masalah yang dihadapi, antara lain:
1.      Apa hubungan derivasi makro ekonomi dengan maqoshid syari’ah?

















BAB III
PEMBAHASAN
Sering kali pencarian penyelesaian permasalahan Makro Ekonomi  di Negara kita ini tidak membuahkan hasil. Yang ada hanyalah menemukan jalan buntu semata. Karena selama ini  orang orang hanya memandang permasalahan Makro Ekonomi dapat diselesaikan dengan system Ekonomi yang ada, atau hanya menambah sedikit dari system tersebut yang intinya masih dalam system Kapitalis ataupun sosialis.
Jika kita cermati dengan seksama, sebenarnya masalah yang dihadapi dalam Makro Ekonomi itu adalah permasalahan dari system Ekonomi itu sendiri, yaitu sistem Kapitalis dan Sialis. Yang mana permasalahan utama Makro Ekonomi selalu akan dihadapi oleh suatu Negara tersebut antara lain adalah:[1]
1.                       Masalah pertumbuhan ekonomi
2.                       Masalah ketidakstabilan kegiatan ekonomi
3.                       Masalah pengangguran
4.                       Masalah kenaikan harga (inflasi)
5.                       Masalah neraca perdagangan dan neraca pembayaran
Jika kita tinjau dari segi tujuan makro ekonomi dengan tujuan Hukum Syari’ah (maqashid as Syari’ah) memiliki hubungan yang tampak sebagai derivasi. Karena semua permasalahan utama yang ada pada Makro ekonomi merupakan tujuan dari Hukum Syari’ah. Yang mana apa bila Hukum Syari’ah itu di tegakan dengan benar, maka akan berdampak juga pada Makro ekonomi.
Sebelum membahas derivasi makro ekonomi dengan maqashid syari’ah, kita ketahui dahulu tentang maqashid syari’ah. Secara bahasa Maqashid berasal dri kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang teguh, dan sengaja.   Makna ini dapat juga diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi).    Sedangkan syari’ah secara bahasa  menunjukkan kepada tiga pengertian, yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.   [2]
Sedangkan  Yusuf  Al-Qardhawi mendefenisikan maqashid al-alsyari’ah sebagai  tujuan yang menjadi  target  teks dan hukum-hukum partikular  untuk  direalisasikan  dalam  kehidupan   manusia,  baik  berupa  perintah,  larangan,  dan mubah.[3] Yang mana pada intinya maqashid Syari’ah tujuannya adalah untuk mencapai kemaslahantan seluruh umat.
Adapun tujuan Hukum Syari’ah (maqashid as Syari’ah) antara lain:
1.      Hifdzu ad-din
2.      Hifdzu an-nafs
3.      Hifdzu Nasl
4.      Hifdzu al-mal
5.      Hifdzu al-‘aql
Apa bila kelima tujuan itu tercapai dengan baik itulah yang dinamakan maslahah. Apapun itu, yang bisa menyebabkan kita akan tercapainya kelima tujuan maqashid syari’ah itulah maslahah. Akan tetapi Islam tidak hanya mengatur tujuannya saja, tetapi yang diatur adalah caranya bagaimana menuju maslahah tersebut. Semuanya sudah diatur dengan jelas dan lengkap di dalam Islam. Hanya saja dalam aplikasi penggunaan dalam kehidupan sehari-hari kurang bisa diterapkan. Itu karena kebanyakan orang pada umumnya belum memahami syari’ah secara detail, sehingga mereka tidak memperdulikan syari’ah dan hanya mencari tujuannya saja.
Sedangkan apa bila kelima hal tersebut di hancurkan dan apa saja yang bisa menghancurkan hal tersebut, itu yang dinamakan mafsadah. Keterbatasan pengetahuan masyarakat akan syari’ah menyebabkan mereka bukannya mendapatkan maslahah melainkan mendapatkan mafsadah. Seberanya tujuan setiap orang itu pada intinya sama, yaitu mencari maslahah. Hanya saja jalannya mereka untuk mencari maslahah itu yang menjadi permasalahan. Jika kita cermati bersama, apakah ada seorangpun yang tidak ingin hidupnya menjadi yang terbaik. Itulah maqosid Syari’ah  secara umumnya.
Dalam keterkaitannya dengan makro ekonomi, maqosid syari’ah  sangatlah terhubung. Bahkan makro ekonomi itu adalah turunan atau salah satu bentuk penerapan maqosid syari’ah tersebut. Dilihat dari bentuk permasalahan pokok yang sudah di jelaskan diatas tadi. Itu juga merupakan permasalahan yang harus diselesaikan dengan menggunaakn sistem maqosid syari’ah.
Adapun gambaran derivasi antara makro ekonomi dengan maqoshid syari’ah antara lain:
1.    Hifdzu ad-din (agama)
       Dalam kehidupan, kita tidak mungkin bisa terlepas dari pengawasan Sang Pencipta yaitu Allah Swt. Kehidupan apapun yang kita jalani, walaupun dalam hidup kita semua terpenuhi. Kita tidak boleh sampai melewatkan hal terpenting dalam maqoshid syari’ah yaitu memelihara agama. Karena maslahah itu tidak untuk dunia saja, tetapi juga akhirat.
       Jika permasalahan makro ekonomi tersebut belum bisa diseleasaikan, padahal sudah menerapkan seluruh ilmu yang dimiliki. Tetapi masalah tersebut masih muncul, maka penyelesaian itu menjadi tidak berarti.
       Peran menjaga agama sangat berpengaruh disini. Dimana permasalahan ekonomi dalam bentuk kemiskinan bisa diatasi apabila seluruh umat muslim di Negara ini menunaikan zakatnya. Dan pada pejabat Negara membentengi diri mereka dengan iman, maka permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme tidak akan terjadi, dimana korupsi, kolusi dan nepotisme sangat berdampak sekali dengan harga-harga yang ada dipasaran. Sehingga infalsi bisa ditekan. Kemudian petumbuhan ekonomi bisa berjalan dengan lancar apa bila peraturan ditegakan.
2.    Hifdzu an-nafs (jiwa)
Dalam memelihara jiwa, yang harus diperhatikan adalah seluruh barang yang di konsumsi atau yang masuk. Seluruhnya harus baik. Karena jiwa memiliki batasan mana yang baik dan mana yang buruk. Jika itu buruk, maka harus dijauhi. Seperti makan makanan yang halal dari jenis makanannya ,cara memperolehnya dan juga etika dalam kehidupan.
Dalam menjalani kehidupan berekonomi, jiwa haruslah sehat. Jika jiwa tidak sehat, maka tidak mungkin bisa beraktivitas dengan normal. Jika tidak bisa beraktivitas, maka akan menimbulkan masalah kepada makro ekonomi seperti pengangguran karena tidak bisa bekerja. Hal ini juga perlu diperhatikan dalam mengentasi masalah pokok makro ekonomi tersebut. Jika banyak pengangguran, maka permasalahan ekonomi yang lain akan bermunculan. Oleh karena itu, kesehatan sangat penting dalam makro ekonomi.
Jika masalah yang ditimbulkan dari tidak bisanya memelihara jiwa akan menimbulkan pengangguran, maka pengguran itu sendiri juga menimbulkan masalah yang besar juga. Dari penganguran tersebut akan berdampak kemiskinan. Karena pengguran pada umumnya tidak memiliki harta yang cukup, sehingga pengangguran tersebut tidak bisa berkonsumsi dengan baik. Kemudian akan berdampak kepada menurunya daya beli masyarakat tersebut. Jika masyarakat tidak mampu membeli barang, maka para pengusaha juga akan kesusahan dalam menjual barangnya jika orang tidak sanggup membeli. Sehingga timbullah masalah ketidak stabilan ekonomi.
3.    Hifdzu Nasl (keturunan)
Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia juga dituntut untuk memelihara keturunannya. Dalam menjaga keturunan, manusia di syari’atkan untuk menikah. Karena dengan menikah, agama seseorang menjadi sempurna dimata Allah. Selain itu seseorang juga belum matang jika belum menikah. Dengan menikah, manusia bisa merasakan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keularganya. Berbeda dengan seseorang yang belum menikah yang hanya bisa menggunakan hartanya tanpa adanya tanggung jawab. Jika sudah menikah, maka seseorang harus bertanggung jawab akan keluarganya, dan pintu rezeki juga akan terbuka baginya.
Dari tanggung jawab, manusia akan dituntut mencari nafkah kepada keluarganya. Sehingga manusia akan berusaha mencari pekerjaan untuk menafkahi keluarganya. Jika semua orang menyadari adanya tanggung jawab yang begitu besar baginya setelah menikah, maka dengan sendirinya dia akan  berusaha mencari nafkah dan masalah pengangguran bisa terkurangi, dan juga kemiskinan. Ini juga membantu permasalahan makro ekonomi.
4.    Hifdzu al-mal (harta)
Derifasi yang paling banyak antara makro ekonomi dengan maqoshid syari’ah  terletak pada pemeliharaan harta. Dalam memelihara harta harus diperhatikan konsep kepemilikan. Pada hakikatnya, kepemikian bumi dan alam semesta dengan segala adalah milik Allah.[4] Sehingga, kedudukan manusia di dunia ini adalah hanya sebagai pemilik sementara. Dan manusia harus taat kepada pemilik harta tersebut, karena bisa saja suatu saat harta yang dimiliki bisa diambil oleh pemiliknya jika pemiliknya berkehendak. Jika harta tersebut di gunakan dan diperoleh secara illegal, maka akan berakibat kepada eksistensi harta ataupun harta tersebut akan tidak berarti bagi si pemilik tersebut.
Memelihara harta sangat dianjurkan oleh Islam. Karena jika seseorang tidak menjaga hartanya dengan baik, maka dia juga tidak bisa menjaga harta tersebut yang sifatnya milik Allah. Dampak jika tidak bisa memelihara harta dengan baik juga berpengaruh terhadap makro ekonomi seperti menimbulkan kemsikinan yang kemudian berakibat menambah permasalahan ekonomi tidak seimbang. Oleh karena itu dalam menjaga harta, dalam Islam diatur etika dan moralnya dalam Akhlaq. Jika orang memiliki harta dan juga berakhlaq, maka dia akan menjaga harta itu dengan benar dengan memperhatikan syari’ahnya.
5.    Hifdzu al-‘aql (akal)
   Akal harus di pelihara agar bisa digunakan dengan baik. Karena salah satu perbedaan antara manusia dengan makhluk hidup yang lain adalah akal. Dengan akal, manusia bisa berfikir dan membdeakan mana yang baik dan buruk untuknya. Jika akal sudah rusak, maka hidupnya didunia ini sudah tidak ada bedanya dengan binatang. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan untuk memelihara akal. Akal bisa rusak dengan beberapa hal yang sifatnya negatif seperti minum minuman beralkohol, bermain game yang berlebihan dan lain sebagainya.
Pada intinya akal harus diasah dan dikembangkan untuk berfikir dan belajar agar kehidupannya bisa lebih baik. Jika orang berilmu, maka dia akan berfikir untuk kebaikan dirinya sendiri dan juga untuk orang lain. Sehingga dia tau apa yang harus dikerjakan dan tidak boleh dikerjakan. Dari sini kita bisa mengeahui bahwa sanya manusia dituntut untuk belajar.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَة
Artinya : ”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. (HR. Ibnu Abdil Barr)
Ini berarti, manusia dituntut untuk belajar dan dituntut untuk bisa hidup lebih baik. Karena tanpa ilmu, manusia tidak mungkin bisa hidup dengan baik. Dan maslahah tidak mungkin  tercapai. Dan tujuan dari maqoshid sayri’ah seluruhnya tidak akan tercapai. Karena maqoshid syari’ah ini adalah sebagian dari ilmu ushul fiqh yang mana didalamnya banyak kaidah atau cara-cara dalam menata kehidupan lebih baik.
Dari memelihara akal, manusia bisa berfikir untuk memcahkan permasalahn yang ada dalam makro ekonomi. Karena banyak sekali teori yang menerangkan dengan baik untuk diterapkan pada permasalahan makro ekonomi. Seperti hukum permintaan dan penawaran, pendapatan diposabel dan lain-lain.
Kelima pokok maqosid syari’ah tersebut pada dasarnya saling berkaitan antara satu sama lain. Sehingga tidak mungkin tercapai maslahah jika salah satu dari lima pokok itu terpenuhi. Jadi tidak bisa memilih salah satu saja dari kelima pokok itu untuk mengatasi masala yang ada pada makro ekonomi, melainkan semuanya.
Penerapan maqoshid syari’ah harus diterapkan secara keseluruhan, tidak hanya salah satu saja. Sehingga, jika penerapan maqoshi syari’ah diterapkan secara keseluruhan akan berdampak pada segi lainnya. Seperti sosial, pendidikan, dan lain-lain. Jadi kita bisa menggunakan landasan maqoshid syari’ah untuk semua permasalahan yang ada. Karena sumber maqoshid syari’ah  adalah Al-Qur’an dan Hadist Nabi.












BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa makro ekonomi merupakan derivasi dari maqoshid syari’ah. Yang mana disetiap tujuan dari maqoshid syari’ah terdapat hubungan yang mempengaruhi pada setiap masalah makro ekonomi. Justru masalah makro ekonomi itulah yang merupakan tujuan dari maqoshid syar’ah.
















Referensi:
Prof. Dr. H. S. Praja, Juhaya, MA. Ekonomi Syari’ah. Pustaka Setia. Bandung. 2012 .
Sukirno, Sadono. Makroekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Rajawali Press. Jakarta. 2012
Wibowo, Arif. ISLAMIC FINANCE – 04 Maqoshid Asy Syariah: The Ultimate Objective of Syariah. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Arif%20Wibowo,%20MEI/ISLAMIC%20FINANCE%2004%20-%20Maqashid%20Asy%20Syariah.pdf diakses pada 10 Desember 2014



[1] Sukirno, Sadono. Makroekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Rajawali Press. Jakarta. 2012
[2] Wibowo, Arif. ISLAMIC FINANCE – 04 Maqoshid Asy Syariah: The Ultimate Objective of Syariah. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Arif%20Wibowo,%20MEI/ISLAMIC%20FINANCE%2004%20-%20Maqashid%20Asy%20Syariah.pdf diakses pada 10 Desember 2014
[3] Ibid. hal 1
[4] Prof. Dr. H. S. Praja, Juhaya, MA. Ekonomi Syari’ah. Pustaka Setia. Bandung. 2012 . hal 90